Powered By Blogger

Rabu, 28 Mei 2008

Kompetisi Islam dalam perniagaan global

Sejarah mengatakan bahwa pada saat kejayaannya sekitar satu setengah abad silam Islam pernah menggapai eksuksesan di berbagai bidang: Agama, hukum, militer, niaga, bahkan buku-buku acuan ilmu astronomi dan kedokteran (Qanun Fith-Thib – Canon of Medicine karangan Ibnu Sina) merupakan buah karya cendekiawan-cendekiawan muslim. Namun lama – kelamaan kejayaan itu runtuh dan direbut oleh kaum lain, yang lebih kompeten dalam mengelola dirinya sehingga umat Islam kalah berkompetisi melawan kaum tersebut.

Kini dalam era yang makin global, banyak hal telah berubah. Ini era yang perdagangannya bisa dilakukan tanpa keharusan penjual bertemu dengan pembeli. Era dimana kemerosotan ekonomi negara barat bisa berdampak ke negara timur. Ini era yang menuntut setiap umat berkompetisi dengan skill masing-masing, yang mana umat yang kalah akan makin merosot dan yang menang harus makin meningkatkan skillnya agar tidak mudah dikalahkan oleh umat lain.

Kita umat Islam adalah salah satu dari sekian banyak umat yang menjadi peserta dalam kompetisi ini. Sebagai kompetitor, kita akan makin dilecehkan ketika kita tak lagi “menunjukkan taring” dalam suatu event persaingan, dan nyatanya memang begitu. Dimana produk-produk yang mengatasnamakan umat Islam sekarang? Apakah umat Islam hanya bisa bicara panjang lebar dan menggebu-gebu dengan idealis dalam setiap dakwahnya namun ketika dihadapkan kondisi realita hanya nol besar? Ataukah produk umat Islam hanya seputar masalah syariah dan tidak aplikatif dalam muamalah?

Umat Islam sudah diklaim oleh Allah bahwa mereka adalah umat yang terbaik, sehingga oleh Allah mereka dibekali dengan Al Qur’an yang merupakan petunjuk abadi yang universal, dilengkapi dengan hadist sebagai komplementernya, untuk mengarahkan hidup umat Islam ke arah yang diridhai Allah. Dalam Al Qur’an juga sudah diatur bagaimana umat Islam mempersiapkan diri menghadapi kompetisi dengan umat lain, baik dijelaskan secara gamblang maupun tersirat.

Beberapa hal yang diperintahkan Allah dalam berkompetisi, terutama dibidang ekonomi antara lain:

1. Menghindari Riba

Dalam “Al-Quraan dan Terjemahannya” keluaran Departemen Agama Republik Indonesia tahun 1984, pada catatan kaki nomor 174 menerangkan bahwa riba itu ada dua macam: nasi’ah dan fadl. Riba nasi’ah adalah pembayaran yang lebih disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadl aalah penukaran lebih dari satu barang sejenis yang disyaratkan oleh orang yang menukarkan. Riba yang sering terjadi (lagi) di masa sekarang ini adalah jenis riba nasi’ah, yang pada prakteknya seperti rentenir yang meminta “bunga” ketika uangnya dikembalikan oleh si penghutang, atau praktek kredit.

Riba nasi’ah ini amatlah menyengsarakan bagi si penghutang, karena seola-olah hutangnya terus beranak pinak dan berkembang bahkan bisa sampai lebih dari hutang itu sendiri. Dalam berkompetisi, riba nasiah amatlah umum dipraktekkan bahkan oleh umat Islam sendiri, padahal sudah dilarang oleh Pencipta mereka, yang membentuk manusia dari setetes air yang hina. Satu-satunya alasan untuk tidak melakukannya adalah karena Allah sudah melarangnya dengan tegas di Al Quran dan akan menjatuhkan adzab bagi pelaku riba.

2. Berzakat

Zakat adalah salah satu cara efektif dalam memeratakan dan meningkatkan kesejahteraan umat atas kepemilikan harta benda duniawi. Semakin sejahtera suatu kaum, maka modalnya untuk berkompetisi makin besar, baik dari segi dana maupun manusianya. Mekanisme zakat sudah diatur dalam Al Quran dan hadits, yang mana intinya adalah yang kaya memberi kepada yang membutuhkan.

Dalam berzakat banyak hikmah yang dapat diambil. Si penerima zakat selain terbantu juga akan menyadari bahwa dirinya masih saja dizakati, lalu akan berusaha agar dirinya mampu berzakat kepada orang lain, karena jika tidak maka dia tidak dapat melaksanakan rukun Islam ke 4 ini. Si pemberi zakat juga sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah suatu investasi untuk kehidupan akhiratnya, sehingga dia tidak akan merasa rugi sedikitpun. Umat lain yang melihat indahnya sistem ini akan tahu bahwa Islam memang begitu indah, diajarkan untuk saling berbagi.

3. bekerja keras

Sabda nabi: I’mal lidunyaka kaannaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhiratika kaannaka tamuutu ghadan. Bekerjalah kamu untuk duniamu seakan kamu hidup selama-lamanya, dan bekerjalah kamu untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.

(tulung terusno mus, aku kehabisan ide arep nulis opo…)

4. adil dan tidak mengurangi timbangan

Kaum-kaum terdahulu yang pernah berbuat tidak adil dan mengurangi timbangan dalam berniaga dibinasakan oleh Allah. Sekarang justru banyak umat Islam yang melakukannya lagi, misalnya dengan menambahkan beban pada bagian bawah timbangan, melayani pembeli dengan membeda-bedakan dan sebagainya. Ini membuat citra pedagang kita semakin buruk di mata pembeli, karena tindakannya yang tidak memuaskan konsumen, sehingga konsumen pindah ke pedagang lain.

Inilah salah satu faktor negatif yang dapat mencoreng citra pedagang Islam, dan digeneralisasikan menjadi citra umat Islam. Padahal dalam sejarah perniagaan Nabi Muhammad SAW yang harus selalu kita contoh, beliau selalu adil dan jujur serta dapat dipercaya, sehingga beliau terkenal dan dijuluki sebagai Al Amin ( orang yang terpercaya)

(untuk ending)

Bagaimanapun, sesuai firman Allah pada surat Ar-Ra’d ayat 11, Innallaaha laa yughayyiru maa bi qaumin hattaa yughayyiru maa bi anfusihim (Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum ingga kaum itu mengubahnya sendiri). Kita umat Islam harus segera berubah, dimulai dengan hal-hal kecil, dimulai dari diri sendiri dan dimulai dari sekarang.

Sabtu, 03 Mei 2008

untuk Albar Wisnu Badhra

untuk Albar Wisnu Badhra

bar, sori yo, aku ga yakin kalo lewat email cepet sampe, jadi tak upload ke
Blog ku aja...


Solving traffic congestion in the ancient way

Many criticize the idea of charging money for the use of roads, which are widely considered a public good. Yet inspiration for an equitable solution to this dilemma may be found in an ancient law that dispenses justice in a simple traffic conflict, writes Oded Roth in this week's Op-Ed.
Solving the problem of severe traffic congestion has risen to the top of the agenda in many cities. Undoubtedly, the precedent set by the City of London has encouraged mayors and local politicians to reconsider the idea of payment, or congestion charges, for participating in traffic jams. Yet many criticize the idea of charging money for the use of roads, which are widely considered a public good. Inspiration for an equitable solution to this dilemma may be found in an ancient law that dispenses justice in a simple traffic conflict.
Congestion prevents streamlining traffic in an efficient manner, wastes time, increases collision rates and creates a confluence of the annoyances of air pollution and noise. Measures taken to dilute congested traffic conditions would optimize the flow of traffic and promote efficiency.
Economic incentives may motivate some drivers to abandon their cars under congested conditions, thereby achieving the traffic dilution goal. Well known economic measures used to soften the demand of traffic include gas taxes, toll roads, parking tolls, congestion charges and transit subsidies.
Yet the idea of congestion charges is not widespread, due to political doubts regarding social and economic justice, rather than issues of traffic design or traffic stream engineering.
In other words, charging for the use of common property raises a socio-economic conflict. On the one hand, it is unfair to charge the public for the use of its own domain. This charge may be considered economic discrimination against the poor. Conversely, free consumption of public resources harms the efficiency of its use, and ultimately harms society as a whole.
Investigation of an ancient traffic custom may shed some light on the problem. In ancient Roman times, public roads were considered "Res Publica", or in the "public domain", the common property of all. A solution to the congestion charges conflict may be found in an ancient law related to a nucleus congestion problem -- a conflict between two boats or camels that had to pass through a narrow passage wide enough for only one traveler to pass. Understanding the solution to the nucleus conflict between two opposing interests may be the key to a multi-vehicle conflict that occurs under congestive conditions.
The ancient law solves the conflict in two stages -- the first step checks the relative, relevant conditions of the participants, and due to good manners and a hospitable attitude, gives way to the more heavily loaded vehicle, rather than to an empty one, or to the conveyance that has traveled a longer distance. If the relevant conditions of both vehicles are similar, then the economical solution follows -- to allow the two travelers to trade for the right of way. The one with the highest offer will pay the other for the privilege of the right to pass.
Once the solution of right-of-way scarcity conflict is understood, today's congestive problems may be challenged.
The first stage of the solution could be that preference be assigned to the most heavily loaded vehicles. Trains, buses, taxis or cars filled with passengers would thus deserve preference over unloaded cars. Only then would the second stage of the economic solution follow. It should be noted that in the current arrangement of congestion charges, a public authority or official licensee collects the fees, or receives a percentage of the charges. According to the aforementioned ancient law, the paucity of rights of way should be a basis for a free market of give and take among the road users, and not between the road users and higher authorities.
In this situation, modern technologies that enable monitoring traffic and charge individual vehicles may be used to develop elaborate free markets among those who wish to enter congested zones at hours of over demand. Fine-tuning traffic flow by negotiation and free will may be just, understandable and better accepted. Furthermore, free markets may supply clear economic signals regarding the public wishes toward urban planning, land use and modes of movement